Senin, 24 Juni 2013

Setelah 25 Tahun .....

1988

Tahun 1988 adalah awal keterlibatanku di Pramuka. Waktu itu aku baru saja masuk kelas 1 SMP, dan seorang teman sekelasku menawari aku untuk ikut Pramuka. Sebelumnya aku pernah ikut latihan Pramuka waktu di SD. Ketika itu menjadi Pramuka Siaga pada tahun 1984, lalu ikut "ekspedisi" ke Gunung Kuweni, Sidoarjo, tahun 1986. Tetapi tidak ada yang menarik perhatianku sama sekali.

Bagiku saat itu, Pramuka sangat tidak menyenangkan. Kamu harus berada bersama teman-temanmu yang tidak semua menyukai kamu. Pimpinan Regumu sangat berkuasa atas kamu dan kamu tidak dapat menggantinya. Dia pun bisa menyuruh-nyuruh kamu melakukan apa yang menurut dia perlu, dan Pembina? Pembina adalah "Yang Maha Kuasa" di mana kami hanya disuruh mengkuti perintahnya.

Kegiatannya pun tidak semenarik kegiatanku saat itu. Saat itu aku sangat suka melakukan semua sendiri, berpetualang sendiri, mengikuti cerita pada buku yang kubaca. Aku pernah mengumpulkan daun-daun untuk membuat arboretum. Aku juga memiliki buku taksonomiku sendiri. Aku juga suka memotret, dan memotret apapun yang kutemui. Semuanya aku kumpulkan dalam sebuah buku berdasarkan lokasi. Aku juga suka bersepeda, bertualang ke bagian-bagian terjauh atau bahkan pojok-pojok kecil di lingkungan rumahku di Sidoarjo. Aku pun membuat peta sendiri, Peta Slautan, kampung tempatku tinggal, lengkap dengan rumah-rumah, jalan-jalan tikus dan lokasi-lokasi penting. Sementara di Pramuka? Kamu hanya boleh melakukan yang dimaui oleh Pembinamu. Kamu tidak bisa menjejah sendiri. Semua harus berdasarkan titah Pembina.

Tapi, waktu itu aku tertarik dengan tempelan TKK serta TKU yang dimiliki temanku. Hanya karena ingin tahu maka aku menuruti undangannya, mengikuti latihan Pramukaku yang pertama di SMP itu. Dan itulah aku kemudian. Aku datang, ikut latihan, mendengarkan ceramah dari Pembina. Tapi yang ini berbeda, karena Pembina waktu itu (Kak Wisnu Wardhana Iskandar), memberi tahu tentang Tanda Kecakapan dan bagaimana mencapainya. Semakin tertarik, aku datang lagi bulan depannya. Tapi sayang. Kak Wisnu sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi, tanpa ada yang memberitahu kenapa, dan latihan pun diambil alih kakak-kakak senior kelas 3, bahkan yang sudah SMA, yang membentuk regu baru (pada pelatihan sebelumnya aku sudah membentuk regu, tapi pada pertemuan kedua kali itu, aku tidak lagi menemukan reguku kembali).

Dan pelatihanku yang kedua pun tidak begitu menarik. Aku membentuk regu bersama teman-teman yang "tersisihkan", kelompok yang "bodoh", dan aku pun entah mengapa dianggap bodoh. Dan kali itulah aku mendapatkan pengalaman burukku yang kedua kalinya di Pramuka.

Tampaknya Pramuka sangat otoriter dengan pendidikannya. Kalau tidak ada Pembina, maka Seniorlah yang sangat berkuasa menggantikan Pembina. Dan, tidak ada yang salah dengan Senior. Apa kata Senior adalah benar. Kalau Senior sampai salah, lihatlah aturan pertama (Senior selalu benar). Dan di situlah aku. Disuruh push up, lari-lari, dan Senior tampak senang sekali menghukum aku, mempush up aku sesuka mereka. Itulah saat terburuk bagiku.

Aku bertahan selama 3 bulan dengan kondisi seperti itu, dan selama itu aku belajar menghapalkan Dasa Darma, Tri Satya, Morse, dan tali-temali. Aku pun cepat sekali menghapalkannya. Selama 3 bulan menguasai semuanya. Dan tampaknya, pengetahuanku yang menonjol itu membuat para Senior dan teman-teman seangkatanku yang dekat dengan Senior menjadi tidak suka lalu mencoba menekanku sebisa mereka. Mereka menghalangiku ikut ujian SKU dan SKK, dan ada semacam Senior Kepala yang berusaha memberikan pertanyaan paling sulit (yaitu pertanyaan yang hanya dia saja yang tahu jawabannya) sehingga aku tidak lulus ujian.

Tapi aku tetap bertahan, karena ada tantangan yaitu membuktikan diri. Beruntunglah aku lahir sebagai anak tunggal sehingga terbiasa cuek dengan lingkungan sosial. Tindakan meremehkan dan diskriminatif yang aku terima sama sekali tidak mengganggu diriku karena aku cuek, sehingga aku tidak merasa tertekan. Tapi prestasi serta kejutan yang aku buat, sangat mengganggu mereka, dan reaksi merekalah yang membuat aku jadi tersanjung. That I can make them surprised.

Dan inilah tahun 1988. Aku mengalami pengalaman terburuk justru di saat aku pertama kali mengikuti latihan Pramuka. Sikap Pembina dan Senior yang otoriter, rantai komando yang tidak dapat ditolerir seperti halnya militer, dan pembelajaran disiplin yang justru mematikan logika. Aku masih ingat saat Seniorku membentakku: "Jangan berpikir! Kamu di sini tidak boleh berpikir! Kamu harus melakukan apa yang aku suruh lakukan!" Belum lagi sikap diskriminatif yang aku terima, bahwa aku "berada di luar lingkaran mereka", "tidak mau berpikir seperti mereka", atau "tampil beda", membuat aku diperlakukan tidak sama. Bila ada penugasan yang "menguntungkan", maka penugasan itu diambil oleh Senior dan orang-orang yang terdekat dengan lingkaran Senior. Bila tidak menguntungkan, maka aku yang disuruh. Penugasan yang menguntungkan adalah penugasan yang membuat pelaksananya jadi pahlawan kalau berhasil, atau dilihat semua orang karena pentingnya tugas itu.

Dan itulah Pramuka yang kualami pertama kali dulu. Semua itu terjadi 25 tahun yang lalu.